ASPEK ETIKA DALAM KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU
ASPEK ETIKA DALAM KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU
Oleh: Suparlan*)
Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi
setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan, waktunya adalah dari
buaian ibu (bayi), sampai masuk liang kubur
(Hadist Rasulullah SAW)
Barang siapa mencari ilmu bertujuan untuk
membanggakan diri di hadapan para ulama, atau mendebat orang-orang
bodoh, atau mencari perhatian manusia, maka kelak dia berada di neraka
(HR Tirmidzi)
Tajuk tulisan di atas kelihatannya mengandung dua hal yang berbeda
dan bahkan saling bertentangan. Satu pihak menyebutkan tentang kewajiban
menuntut ilmu, namun di lain pihak tentang larangan yang menyertainya.
Kedua hal itu memang tentang menuntut ilmu. Namun jika yang pertama
berkenaan dengan proses menuntut ilmu, sementara yang kedua berkenaan
tentang latar belakang tujuan untuk menuntut ilmu. Singkat kata, proses
menuntut ilmu memang satu substansi yang berbeda dengan tujuan yang
terkandung di dalam proses tersebut.
Proses yang baik memang harus diawali dengan niat yang tulus. Atau
sebaliknya niat yang tulus harus diikuti dengan proses atau tindakan
yang sungguh-sungguh. Niat dan tujuan yang tulus yang tidak diikuti
dengan proses atau tindakan yang sunggih-sungguh, tidak akan
menghasilkan apa-apa. Sebaliknya proses atau usaha yang sungguh-sungguh
juga harus diawali dengan niat yang tulus. Tanpa diawali dengan niat
yang tulus, maka proses atau usaha yang sungguh-sungguh itu bahkan hanya
akan mengarahkan kita ke jalan neraka, sebagaimana larangan yang telah
ditegaskan dalam Hadis Riwayat Tirmidzi tersebut, yakni: “
Barang
siapa mencari ilmu bertujuan untuk membanggakan diri di hadapan para
ulama, atau mendebat orang-orang bodoh, atau mencari perhatian manusia,
maka kelak dia berada di neraka”.
Jadi, proses menuntut ilmu memang menjadi
kewajiban umat Islam. Bahkan proses menuntut ilmu dapat dilakukan di
mana pun juga, termasuk ke negeri Cina. Termasuk dalam pengertian ini
adalah ilmu untuk kepentingan dunia saja atau untuk kepentingan akhirat,
atau juga untuk kepentingan kedua-duanya. Namun harus kita ingat bahwa
proses menuntut ilmu itu semua harus dilandasi oleh niat yang tulus
hanya semata-mata untuk Allah SWT, bukan untuk membanggakan diri di
hadapan ilmuwan lain, bukan pula untuk bahan berdebat dengan orang-orang
bodoh yang kebetulan tidak atau belum menguasai ilmu itu, atau juga
bukan untuk mencari perhatian manusia. Kalau proses menuntut ilmu itu
dilatarbelakang oleh tujuan tersebut, maka Hadis Riwayat Tirmidzi
memberikan larangan keras, karena tempat penuntut ilmu seperti itu,
tidak ada tempat yang tepat baginya kecuali neraka.
A’udzubillahimidzalik.
Kontak dengan pembaca pun terjadi dengan sangat tebukanya. Ketika
berdiri di depan hadirin dalam pelbagai acara tersebut, kadangkala
terbesit dalam hati kecil ini untuk membanggakan diri, karena telah
dapat memiliki websiste, meski website itu dibuatkan oleh anak sendiri.
Kebanggaan yang manakah yang dilarang dalam Hadis tersebut? Bangga
terhadap hasil karya yang telah diupayakan dengan penuh kesungguhan
memang patut dimiliki. Namun kebanggagaan yang mengarah kepada
kesombongan, seakan-akan semua itu hanya dapat dihasilkan oleh dirinya
sendiri, janganlah terbetik dalam hati yang paling dalam ini. Inilah
batas yang tidak boleh kita lalui. Sekali lagi, menuntut ilmu itu memang
menjadi kewajiban bagi Umat Islam, tetapi dengan niat yang bukan karena
Allah, dengan tujuan untuk menyombongkan diri adalah perbuatan yang
dilarang-Nya.
Aspek Etika
Mengucapkan basmallah ketika memulai untuk menuntut ilmu merupakan
aspek etika yang pertama sekali harus kita lakukan. Ucapan basmallah
memiliki makna bahwa apa yang kita lakukan hanyalah semata-mata hanya
karena Allah SWT. Jika dalam menuntut ilmu itu sejak awal telah
dilandasi oleh tujuan yang tidak diridhoi oleh Allah SWT, dalam arti
tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT, maka menuntut
ilmu yang demikian itu sudah masuk dalam kategori membanggakan diri
yang melebihi batas, karena seakan-akan ia telah menjadi Tuhan yang
melebihi kekuasaan Allah SWT, Allah Yang Maha Mengetahui. Jika di dalam
hati kecil sudah terdapat indikasi seperti itu, sudah sepatutnyalah kita
harus kembali ke pangkal niat yang tulus dan suci hanya karena Allah
SWT. Untuk inilah, maka ketika kita menulis sesuatu, seringkali kita
perlu mengemukakan wallahu alam bishawab, karena hanya Allah jualah yang
mengetahui semuanya. Pengetahuan kita tentang suatu ilmu hanyalah
sebagian kecil saja dari pengetahuan Allah Yang Maha Mengetahui.
Etika yang lain dalam menuntut ilmu, tentu saja terkait dengan
etika-etika keilmuan yang disepakati oleh para ilmuwan. Sebagai contoh,
dalam menulis, kita dilarang menjiplak tulisan orang lain, tanpa
menyebutkan sumbernya. Dalam hal etika ini, semua profesi memiliki kode
etik masing-masing. Ada kode etik guru, kode etik kedokteran, kode etik
jurnalistik, dan sebagainya. Dalam Kode Etik Jurnalistik antara lain
disebutkan bahwa “Wartawan Indonesia berskap independen, menghasilkan
berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktiad buruk”. Makna
“beriktikad buruk” tersebut sesungguhnya berkenaan dengan niat yang
tulus sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam Pembukaan Kode
Etik juga disebutkan “wartawan tidak menyebarkan berita yang bersifat
dusta, fitnah, sadis dan cabul serta tidak menyebutkan identitas korban
kejahatan susila. wartawan menghargai dan menghormati hak masyarakat
untuk mendapatkan informasi yang benar, wartawan tidak dibenarkan
menjiplak, wartawan tidak diperkenankan menerima sogokan, dsb.
Akhir Kata
Menuntut ilmu, apa pun ilmunya, baik ilmu untuk
dunia, maupun ilmu untuk akhirat, memang menjadi kewajiban kita semua.
Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap orang, bukan hanya sebagai
wajib kifayah, yang kalau telah dilakukan oleh seseorang, orang lain
tidak terkena kewajiban itu. Bukan! Menuntut ilmu merupakan wajib a’in
yang harus dilakukan setiap orang di sepanjang hayatnya, mulai dari
bangun tidur sampai dengan saatnya ditidurkan di liang lahat. Menuntut
ilmu sekali lagi merupaka kewajiban setiap individu, karena manfaat ilmu
itu pertama kali untuk kepentingan diri sendiri, lalu juga untuk orang
lain yang memanfaatkannya. Oleh karena itu, marilah kita teruskan untuk
menuntut ilmu sampai kapan dan di mana pun. Tetapi jangan lupa aspek
etika yang ada di dalamnya, seperti jangan menyombongkan diri karena
ilmu itu. Menuntut ilmu tanpa etika ibarat kita hanya melebarkan jalan
ke neraka.
Untuk menutup tulisan ini, saya dapat mengunduh kata-kata bijak dari
google.com tentang “Tujuh Dosa Mematikan” dari Mahatma Gandhi untuk kita
semua.
Kekayaan tanpa kerja
Kenikmatan tanpa nurani
Ilmu tanpa kemanusiaan
Pengetahuan tanpa karakter
Politik tanpa prinsip
Perdagangan tanpa moralitas
Ibadah tanpa pengorbanan. ”
- Mahatma Gandh